Arsip untuk Februari 7, 2011


Kisah Mualaf – Kisah Rohaniawan/Budayawan

Barangkali tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa perjalanan hidupnya merupakan suatu kasus yang langka dan unik. Betapa tidak, Abraham David Mandey yang selama 12 tahun mengabdi di gereja sebagai “Pelayan Firman Tuhan “, istilah lain untuk sebutan pendeta, telah memilih Islam sebagai “jalan hidup” akhir dengan segala risiko dan konsekuensinya. Di samping itu, ia yang juga pernah menjadi perwira TNI-AD dengan pangkat mayor, harus mengikhlaskan diri melepas jabatan, dan memulai karir dari bawah lagi sebagai kepala keamanan di sebuah perusahaan swasta di Jakarta.

Cerita Beliau ini, – mohon maaf – tidak bermaksud untuk menjelek-jelekan Institusi tertentu karena apa yang telah terjadi Beliau terima dengan ikhlas dan tawakal, Beliau hanya ingin menceritakan proses bagaimana Beliau mendapat hidayah dan tantangannya sebagai mualaf – red.

Saya terlahir dengan nama Abraham David di Manado, 12 Februari 1942. Sedangkan, Mandey adalah nama fam (keluarga) kami sebagai orang Minahasa, Sulawesi Utara. Saya anak bungsu dan tiga bersaudara yang seluruhnya laki-laki. Keluarga kami termasuk keluarga terpandang, baik di lingkungan masyarakat maupun gereja. Maklum, ayah saya yang biasa kami panggil papi, adalah seorang pejabat Direktorat Agraria yang merangkap sebagai Bupati Sulawesi pada awal revolusi kemerdekaan Republik Indonesia yang berkedudukan di Makasar. Sedangkan, ibu yang biasa kami panggil mami, adalah seorang guru SMA di lingkungan sekolah milik gereja Minahasa.

Sejak kecil saya kagum dengan pahlawan-pahlawan Perang Salib seperti Richard Lion Heart yang legendaris. Saya juga kagum kepada Jenderal Napoleon Bonaparte yang gagah perwira. Semua cerita tentang kepahlawanan, begitu membekas dalam batin saya sehingga saya sering berkhayal menjadi seorang tentara yang bertempur dengan gagah berani di medan laga.

Singkatnya, saya berangkat ke Jakarta dan mendaftar ke Mabes ABRI. Tanpa menemui banyak kesulitan, saya dinyatakan lulus tes. Setelah itu, saya resmi mengikuti pendidikan dan tinggal di asrama. Tidak banyak yang dapat saya ceritakan dari pendidikan militer yang saya ikuti selama 2 tahun itu, kecuali bahwa disiplin ABRI dengan doktrin “Sapta Marga”-nya telah menempa jiwa saya sebagai perwira remaja yang tangguh, berdisiplin, dan siap melaksanakan tugas negara yang dibebankan kepada saya.

Meskipun dipersiapkan sebagai perwira pada bagian pembinaan mental, tetapi dalam beberapa operasi tempur saya selalu dilibatkan. Pada saat-saat operasi pembersihan G-30S/PKI di Jakarta, saya ikut bergabung dalam komando yang dipimpin Kol. Sarwo Edhie Wibowo (almarhum).

Setelah situasinegara pulih yang ditandai dengan lahirnya Orde Baru tahun 1966, oleh kesatuan saya ditugaskan belajar ke STT (Sekolah Tinggi Teologi) milik gereja Katolik yang terletak di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. Di STI ini, selama 5 tahun (1966-1972) saya belajar, mendalami, mengkaji, dan diskusi tentang berbagai hal yang diperlukan sebagai seorang pendeta. Di samping belajar sejarah dan filsafat agama Kristen. STT juga memberikan kajian tentang sejarah dan filsafat agama-agama di dumia, termasuk studi tentang Islam.

Menjadi Pendeta.

Sambil tetap aktif d TNI-AD, oleh Gereja Protestan Indonesia saya ditugaskan menjadi Pendeta II di Gereja P***** (edited) di Jakarta Pusat, bertetangga dengan Masjid Sunda Kelapa. Di gereja inilah, selama kurang lebih 12 tahun (1972-1984) saya memimpin sekitar 8000 jemaat yang hampir 80 persen adalah kaum intelektual atau masyarakat elit.

Di Gereja P***** (edited) ini, saya tumpahkan seluruh pengabdian untuk pelayanan firman Tuhan. Tugas saya sebagai Pendeta II, selama memberikan khutbah, menyantuni jemaat yang perlu bantuan atau mendapat musibah, juga menikahkan pasangan muda-mudi yang akan berumah tangga.

Kendati sebagai pendeta, saya juga anggota ABRI yang harus selalu siap ditugaskan di mana saja di wilayah Nusantara. Sebagai perwira ABRI saya sering bertugas ke seluruh pelosok tanah air Bahkan, ke luar negeri dalam rangka tugas belajar dari markas, seperti mengikuti kursus staf Royal Netherland Armed Forces di Negeri Belanda. Kemudian, pada tahun 1969 saya ditugaskan untuk mengikuti Orientasi Pendidikan Negara-negara Berkembang yang disponsoni oleh UNESCO di Paris, Prancis.

Dilema Rumah Tangga

Kesibukkan saya sebagai anggota ABRI ditambah tugas tugas gereja, membuat saya sibuk luar biasa. Sebagaipendeta, saya lebih banyak memberikan perhatian kepada jemaat. Sementara,kepentingan pribadi dan keluarga nyaris tergeser. Istri saya, yang putri mantan Duta Besar RI di salah satu negara Eropa, sering mengeluh dan menuntut agar saya memberikan perhatian yang lebih banyak buat rumah tangga.

Tetapi yang namanya wanita, umumnya lebih banyak berbicara atas dasar perasaan. Karena melihat kesibukan saya yang tidak juga berkurang, ia bahkan meminta agar saya mengundurkan diri dan tugas-tugas gereja, dengan alasan supaya lebih banyak waktu untuk keluarga. Tenth saja saya tidak dapat menerima usulannya itu. Sebagai seorang “Pelayan Firman Tuhan” saya telah bersumpah bahwa kepentingan umat di atas segalanya.

Problem keluarga yang terjadi sekitar tahun 1980 ini kian memanas, sehingga bak api dalam sekam. Kehidupan rumah tangga saya, tidak lagi harmonis. Masalah-masalah yang kecil dan sepele dapat memicu pertengkaran. Tidak ada lagi kedamaian di rumah. Saya sangat mengkhawatirkan Angelique, putri saya satu-satunya. Saya khawatir perkembangan jiwanya akan terganggu dengan masalah yang ditimbulkan kedua orang tuanya. Oleh karenanya, saya bertekad harus merangkul anak saya itu agar ia mau mengerti dengan posisi ayahnya sebagai pendeta yang bertugas melayani umat. Syukur, ia mau mengerti. Hanya Angeliquelah satu-satunya orang di rumah yang menyambut hangat setiap kepulangan saya.

Dalam kesunyian malam saat bebas dan tugas-tugas gereja, saya sering merenungkan kehidupan ramah tangga saya sendiri. Saya sering berpikir, buat apa saya menjadi pendeta kalau tidak mampu memberikan kedamaian dan kebahagiaan buat rumah tangganya sendiri. Saya sering memberikan khutbah pada setiap kebaktian dan menekankan hendaknya setiap umat Kristen mampu memberikan kasih kepada sesama umat manusia. Lalu, bagaimana dengan saya?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu semakin membuat batin saya resah. Saya mencoba untuk memperbaiki keadaan. Tetapi, semuanya sudah terlambat. Istri saya bahkan terang terangan tidak mendukung tugas-tugas saya sebagai pendeta. Saya benar-benar dilecehkan. Saya sudah sampal pada kesimpulan bahwa antara kami berdua sudah tidak sejalan lagi.

Lalu, untuk apa mempertahankan rumah tangga yang sudah tidak saling sejalan? Ketika niat saya untuk “melepas” istri, saya sampaikan kepada sahabat-sahabat dekat saya sesama pendeta, mereka umumnya menyarankan agar saya bertindak lebih bijak. Mereka mengingatkan saya, bagaimana mungkin seorang pendeta yang sering menikahkan seseorang, tetapi ia sendiri justru menceraikan istrinya? Bagaimana dengan citra pendeta di mata umat? Begitu mereka mengingatkan.

Apa yang mereka katakan semuanya benar. Tetapi, saya sudah tidak mampu lagi mempertahankan bahtera rumah tangga. Bagi saya yang terpenting saat itu bukan lagi persoalan menjaga citra pendeta. Tetapi, bagaimana agar batin saya dapat damai. Singkatnya, dengan berat hati saya terpaksa menceraikan istri saya. Dan, Angelique, putri saya satu-satunya memilih ikut bersama saya.

Mencari Kedamaian

Setelah kejadian itu, saya menjadi lebih banyak melakukan introspeksi. Saya menjadi lebih banyak membaca literatur tentang filsafat dan agama. Termasuk kajian tentang filsafat Islam, menjadi bahan yang paling saya sukai. Juga mengkaji pemikiran beberapa tokoh Islam yang banyak dilansir media massa.

Salah satunya tentang komentar K.H. E.Z. Muttaqin (almarhum) terhadap krisis perang saudara di Timur Tengah, seperti diYerusalem dan Libanon. Waktu itu (tahun 1983), K.H.E.Z. Muttaqin mempertanyakan dalam khutbah Idul Fitrinya, mengapa Timur Tengah selalu menjadi ajang mesiu dan amarah, padahal di tempat itu diturunkan para nabi yang membawa agama wahyu dengan pesan kedamaian?

Saya begitu tersentuh dengan ungkapan puitis kiai dan Jawa Barat itu. Sehingga, dalam salah satu khutbah saya di gereja, khutbah Idul Fitni K.H. E.Z. Muttaqin itu saya sampaikan kepada para jemaat kebaktian. Saya merasakan ada kekagetan di mata para jemaat. Saya maklum mereka terkejut karena baru pertama kali mereka mendengar khutbah dari seorang pendeta dengan menggunakan referensi seorang kiai Tetapi, bagi saya itu penting, karena pesan perdamaian yang disampaikan beliau amat manusiawi dan universal.

Sejak khutbah yang kontroversial itu, saya banyak mendapat sorotan. Secara selentingan saya pemah mendengar “Pendeta Mandey telah miring.” Maksudnya, saya dinilai telah memihak kepada salah satu pihak. Tetapi, saya tidak peduli karena yang saya sampaikan adalah nilai-nilai kebenaran.

Kekaguman saya pada konsep perdamaian Islam yank diangkat oleh KH. E.Z. Muttaqin, semakin menarik saya lebih kuat untuk mendalami konsepsi-konsepsi Islam lainnya. Saya ibarat membuka pintu, lalu masuk ke dalamnya, dan setelah masuk, saya ingin masuk lagi ke pintu yang lebih dalam. Begitulah perumpamaannya. Saya semakin “terseret” untuk mendalami, konsepsi Islam tentang ketuhanan dan peribadahan

Saya begitu tertarik dengan konsepsi ketuhanan Islam yang disebut “tauhid”. Konsep itu begitu sederhana, lugas, dan tuntas dalam menjelaskan eksistensi Tuhan yang oleh orang Islam disebut Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sehingga, orang yang paling awam sekalipun akan mampu mencemanya. Berbeda dengan konsepsi ketuhanan Kristen yang disebut Trinitas. Konsepsi ini begitu rumit, sehingga diperlukan argumentasi ilmiah untuk memahaminya.

Akan halnya konsepsi peribadatan Islam yang disebut syariat, saya melihatnya begitu teratur dan sistematis. Saya berpikir seandainya sistemper ibadatan yang seperti ini benar benar diterapkan, maka dunia yang sedang kacau ini akan mampu di selamatkan.

Pada tahun 1982 itulah saya benar-benar mencoba mendekati Islam. Selama satu setengah tahun saya melakukar konsultasi dengan K.H. Kosim Nurzeha yang juga aktif di Bintal (Pembinaan Mental) TNI-AD. Saya memang tidak ingin gegabah dan tergesa-gesa, karena di samping saya seorang pendeta, saya juga seorang perwira Bintal Kristen dilingkungan TNI-AD. Saya sudah dapat menduga apa yang akan terjadi seandainya saya masuk Islam.

Tetapi, suara batin saya yang sedang mencari kebenaran dan kedamaian tidak dapat diajak berlama-lama dalam kebimbangan. Batin saya mendesak kuat agar saya segera meraih kebenaran yang sudah saya temukan itu.

Oh, ya, di samping Pak Kosim Nurzeha, saya juga sering berkonsultasi dengan kolega saya di TNI-AD. Yaitu, Dra. Nasikhah M., seorang perwira Kowad (Korps.Wanita Angkatan Darat) yang bertugas pada BAIS (Badan Intelijen dan Strategi) ABRI.

Ia seorang muslimah lulusan UGM (Universilas Gajah Mada) Yogyakarta, jurusan filsafat. Kepadanya saya sering berkonsultasi tentang masalah-masalah pribadi dan keluarga. Ia sering memberi saya buku-buku bacaan tentang pembinaan pribadi dan keluarga dalam Islam. Saya seperti menemukan pegangan dalam kegundahan sebagai duda yang gagal dalam membina rumah tangganya.

Akhirnya, saya semakin yakin akan hikmah dibalik drama rumah tangga saya. Saya yakin bahwa dengari jalan itu, Tuhan ingin membimbing saya ke jalan yang lurus dan benar. Saya bertekad, apa pun yang terjadi saya tidak akan melepas kebenaran yang telah saya raih ini.

Akhimya, dengan kepasrahan yang total kepada Tuhan, pada tanggal 4 Mei 1984 saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat dengan bimbingan Bapak K.H. Kosim Nurzeha dan saksi Drs. Farouq Nasution di Masjid Istiqial. Allahu Akbar. Hari itu adalah hari yang amat bersejarah dalam hidup saya. Han saat saya menemukan diri saya yang sejati.

Menghadapi Teror

Berita tentang keislaman saya ternyata amat mengejutkan kalangan gereja, termasuk di tempat kerja saya di TNI-AD. Wajar, karena saya adalah Kepala Bintal (Pembinaan Mental)Kristen TNI-AD dan di gereja, saya adalah pentolan.

Sejak itu saya mulai memasuki pengalaman baru, yaitu menghadapi tenor dan berbagai pihak. Telepon yang bernada ancaman terus berdening. Bahkan, ada sekelompok pemuda gereja di Tanjung Priok yang bertekad menghabisi nyawa saya, karena dianggapnya telah murtad dan mempermalukan gereja.

Akan halnya saya, di samping menghadapi teror, juga menghadapi persoalan yang menyangkut tugas saya di TNI AD. DGI (Dewan Gereja Indonesia), bahkan menginim surat ke Bintal TNT-AD, meminta agar saya dipecat dan kedinasan dijajaran ABRl dan agar saya mempertanggungjawabkan perbuatan saya itu di hadapan majelis gereja.

Saya tidak penlu menjelaskan secara detail bagaimana proses selanjutnya, karena itu menyangkut rahasia Mabes ABRI. Yang jelas setelah itu, saya menerima surat ucapan tenima kasih atas tugas-tugas saya kepada negara, sekaligus pembebastugasan dan jabatan saya di jajaran TNT-AD dengan pangkat akhir Mayor.

Tidak ada yang dapat saya ucapkan, kecuali tawakal dan ménerima dengan ikhlas semua yang tenjadi pada diri saya. Saya yakin ini ujian iman.

Saya yang terlahir dengan nama Abraham David Mandey, setelah muslim menjadi Ahmad Dzulkiffi Mandey, mengalami ujian hidup yang cukup berat. Alhamdulillah, berkat kegigihan saya, akhirnya saya diterima bekerja di sebuab perusahaan swasta. Sedikit demi sedikit kanin saya terus menanjak. Setelah itu, beberapa kali saya pindah kerja dan menempati posisi yang cukup penting. Saya pennah menjadi Manajer Divisi Utama FT Putera Dharma. Pernah menjadi Personel/General Affairs Manager Hotel Horison, tahun 1986-1989, Dan, sejak tahun 1990 sampai sekarang saya bekerja di sebuah bank terama di Jakarta sebagai Safety & Security Coordinator.

Kini, keadaan saya sudah relatif baik, dan saya sudah meraih semua kebahagiaan yang selama sekian tahun saya rindukan. Saya sudah tidak lagi sendiri, sebab Dra. Nasikhah M, perwira Kowad itu, kini menjadi pendamping saya yang setia, insya Allah selama hayat masih di kandung badan. Saya menikahinya tahun 1986. Dan, dan perikahan itu telah lahir seorarig gadis kedil yang manis dan lucu, namariya Achnasya. Sementara, Angelique, putri saya dari istri pertama, sampai hari ini tetap ikut bersama saya, meskipun ia masih tetap sebagai penganut Protestan yang taat.

Kebahagiaan saya semakin bertambah lengkap, tatkala saya mendapat kesempatan menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama istri tercinta pada tahun 1989. Sumber : klik

Toleransi Semu Natal dan Tahun Baru

Posted: Februari 7, 2011 in Khazanah

Kita mau ngomongin sesuatu yang berbahaya yang tanpa sadar mengintai akidah kaum Muslimin atas nama toleransi semu. Bahaya yang mengintai setiap bulan Desember dan tahun baru. Yup, bahaya perayaan Natal dan perayaan Tahun Baru.

Suasana natal merebak di sekitar kita. Mal, plaza, hotel, toko, baliho di jalan-jalan protokol, dan umbul-umbul sepanjang jalan terlihat semarak menyambut natal dan tahun baru. Tak ketinggalan televisi dan radio juga saling bersaing program natal dan tahun baru. Acara-acara yang tersuguh khas nuansa natal semisal pohon cemara dan pernik-perniknya, lagu malam kudus atau Holy Night dalam versi Inggris-nya dan juga nggak ketinggalan Jingle Bell. Juga ada Sinterklas dan kado-kado, kereta salju yang ditarik anjing kutub dan anak-anak miskin yang mendapat kegembiraan karena ada hadiah-hadiah yang mereka inginkan.

Tak jarang kaum Muslimin terlena dengan itu semua. Hati-hati dengan adek-adek kamu yang masih kecil. Mereka mudah sekali silau dengan gemerlap natal dan banyak kado menyertai. Tapi, yang silau sama natal bukan cuma anak-anak kecil. Orang-orang tua bahkan ulama banyak juga yang bukan hanya silau, tapi malah ikut-ikutan larut di dalamnya.

Karena terbiasanya mereka disuguhi pemandangan natal dan tahun baru Masehi, akhirnya merasa seakan-akan perayaan itu adalah bagian dari kehidupan bermasyarakat. Belum lagi para bapak dan ibu yang duduk sebagai pejabat dan mengaku-aku dirinya ulama mencontohkan diri dengan ikut menghadiri perayaan natal dan tahun baru itu. Akhirnya kaum Muslimin dibuat bingung mana yang hak dan batil karena semua sudah dicampur aduk.

Natal dan tahun baru bukan budaya kita

Natal dan tahun baru jelas-jelas budaya dan milik kaum Nasrani. Natal diperingati sebagai kelahiran Yesus yang mereka pertuhankan. Meskipun kita kaum Muslimin mengakui Nabi Isa, tapi tak dibenarkan untuk mengakuinya sebagai Tuhan. Bukan sekadar tak dibenarkan tapi juga haram alias mutlak tidak bolehnya. Lagi pula kelahiran Nabi Isa sendiri juga bukan di bulan Desember. Lha wong aliran sekte Kristen yang lain aja ada yang merayakan Natal di bulan Januari kok. Herbert W. Arsmtrong (1892-1986), seorang pastur di Worldwide Church of God, Amerika Serikat, menyatakan dalam bukunya, The Plain Truth about Christmas, bahwa Yesus tidak lahir pada tanggal 25 Desember. Nah lho?

Abu Deedat Syihabuddin M.H, seorang kristolog dalam wawancaranya dengan majalah Sabili mengatakan, “Isa Almasih bukan lahir tanggal 25 Desember. Di kalangan Kristen sendiri ada perbedaan, ada yang tidak mau merayakan Natal pada 25 Desember seperti Advent dan Yehova. Mereka menganggap Yesus lahir tanggal 1 Oktober. 25 Desember itu, upacara penyembahan Dewa Matahari.”

Most of all, setelah Muhammad datang, cuma ajaran beliau aja yang boleh diikuti. Ajaran nabi-nabi sebelumnya sudah dihapus dengan kedatangan Muhammad Rasulullah saw. sebagai nabi akhir jaman.

Tahun baru juga sama aja. Ini tahun baru Masehi, diperingati untuk mengingat sang Mesiah (asal kata dari Masehi alias Nabi Isa juga) dilahirkan ke bumi. Kita nggak perlu latah ikut-ikutan merayakan meski sekadar mengucapkan selamat tahun baru. Karena bagaimana pun, ucapan tahun baru selalu mengekor dengan ucapan natal. Kita punya kok tahun baru sendiri. Tahun baru Hijriyah. Sebagai momentum peringatan Rasulullah saw. hijrah dari Mekah ke Medinah dan mendirikan Negara Islam di sana.

Selain tahun baru masehi bukan budaya kaum muslimin, lihat juga bagaimana orang-orang itu merayakannya. Hura-hura, pesta, kembang api, dansa, dan banyak acara maksiat lainnya yang digeber semalam suntuk. Jelas banget, semua hal itu sama sekali nggak sesuai dengan budaya kaum Muslimin yang sangat menjaga diri dari segala perbuatan sia-sia dan maksiat. Udah acaranya nggak ada tuntunannya dalam Islam, eh, cara merayakannya juga amat sangat tidak terpuji.

Bagaimana sikap kita?

Jelas dong, sikap kita sebagai kaum Muslimin untuk tidak mengikuti perayaan itu meskipun sekadar mengucapkan natal dan tahun baru. Lha wong kita tidak meyakini kedua perayaan itu kok mau mengucapkan selamat. Bukankah yang selamat itu cuma mereka yang meyakini akidah Islam saja? Jangan khawatir kamu dituduh tidak toleran hanya karena tidak mau mengucapkan selamat natal dan tahun baru. Toh, makna toleran tidak sesempit itu.

Toleran itu cukup dengan mengakui adanya keberagaman di sekitar kita. Kita tak mengganggu keyakinan dan ibadah mereka dan begitu sebaliknya. Mereka juga tidak boleh mengusik akidah dah ibadah kaum Muslimin. Toleran tidak bermakna untuk ikut-ikutan dan mencampuradukkan keyakinan kita dengan keyakinan dan peribadatan agama lain. Bukankah telah dinyatakan oleh Allah dalam surat al-Kafirun bahwa bagimu agamamu dan bagiku agamaku? Ya sudah, cukup ini saja yang jadi patokan kita, oke?

Sering saya diberi ucapan selamat tahun baru oleh teman-teman baik Muslim atau nonmuslim. Kalo ucapan Natal jelas nggak, karena identitas saya sebagai muslimah dengan jilbab dan kerudung sangat jelas terlihat. Saya selalu katakan pada mereka, bahwa saya tidak merayakan tahun baru Masehi. Malam tahun baru toh nggak beda dengan malam-malam sebelum dan sesudahnya. Baru kalo di penghujung malam tahun baru matahari terbit dari barat, itu baru saya takjub dan pantas untuk dirayakan. Teman-teman langsung pada keki karena kalo beneran seperti itu, artinya kiamat dong hehehe…

Tentunya tidak berhenti di situ saja. Harus ada penjelasan secara logis mengapa kita tidak mau merayakan atau sekadar mengucapkan selamat tahun baru. Penjelasan sederhana di atas sudah cukup kamu gunakan sebagai penjelasan bila ada yang nekat ngucapin hal yang sama ke kamu.

Jadi sikap kita jelas dalam hal ini. Tak ada yang namanya nggak enak ati karena ini menyangkut masalah akidah dan keimanan. Nggak main-main urusannya. Meskipun dengan itu kita harus dengan sabar memberi penjelasan dan pengertian bagi mereka yang emang belum ngerti.

Saya punya teman pena dari Finlandia. Kami bersahabat sudah lebih dari sepuluh tahun. Setiap bulan Desember tiba, ia selalu mengirim kartu ucapan merry christmas and happy new year pada saya. Bahasa Finland-nya sih “Hyvä Joulua ja Onnellista Uutta Vuotta!” Padahal sudah berulangkali saya jelaskan padanya kalo saya seorang Muslim dan tidak merayakan natal atau pun tahun baru masehi. Saya jelaskan pula kalo kami punya tahun baru sendiri, Hijriyah. Tapi lucunya, dia selalu heran dan bingung dengan penjelasan saya.

Usut punya usut, ternyata merayakan natal di negeri Barat tidak berkaitan dengan keyakinan seseorang. Teman pena saya ini mengakunya bukan seorang nasrani, karena ia tidak percaya terhadap ketuhanan Yesus. Ia bilang kalo ia tidak percaya dengan tuhan yang ada di gereja. Ia percaya dengan tuhan menurut definisinya sendiri. Hihi, kacau yah?

Jadi, baginya natal adalah sebuah perayaan yang tidak ada nilai religiusnya sama sekali. Tidak ada acara pergi ke gereja. Tidak ada acara membaca doa atau pun hal-hal keagamaan lainnya. Natal cuma momen untuk bisa kumpul bersama keluarga, makan enak, pesta dan mabuk hingga pagi.

Tapi tetap saya jelaskan bahwa meskipun natal di Barat saat ini kehilangan nilai religinya, tapi saya tidak bisa menerima ucapan itu. Bagaimana pun natal tidak bisa dilepaskan dari mana ia berasal dan dalam konteks apa ia diperingati. Memang tidak mudah membuat teman saya ini paham karena perbedaan budaya dan keyakinan yang sangat mencolok di antara kami.

Pertemanan bukan berarti bisa dengan seenaknya mencampurkan akidah dan keimanan. Harus ada batas yang jelas untuk itu. Toh, kami tetap berteman dengan baik meskipun saya tak pernah mengucapkan merry christmas and happy new year padanya. Ia juga tak pernah menuntut saya untuk mengucapkannya. Malah yang sering, dia suka tanya-tanya tentang Islam dan saya dengan senang hati menjelaskannya.

Apa yang bisa diambil dari cerita saya di atas? Jangan pernah ambil kompromi untuk masalah penting dan mendasar. Perayaan dan ucapan natal dan tahun baru memang ringan di lidah, tapi berat di timbangan pada hari penghisaban nantinya. Maksudnya berat dalam hal mengurangi timbangan kebaikan kamu alias jadi tekor. Jadi jangan pernah menganggap enteng hal ini.

Kok, ada ulama ikut natalan?

Mungkin di antara kamu ada yang bertanya-tanya seperti ini. Jangan kuatir, ngaku-ngaku ulama saat ini memang gampang. Tapi dari perbuatannya, kamu kan bisa menilai ulama seperti apakah yang ada pada dirinya.

Merusak Islam sudah bukan jamannya lagi dari luar. Diperangi secara fisik, dibenci oleh kaum kafir, dicemooh dan diludahi seperti jaman nabi. Saat ini ada yang lebih keren tapi berbahaya dalam merusak Islam yaitu dari dalam. Dari pemeluk Islam sendiri dan dari mereka yang mengaku ulama panutan umat. Kalo ulamanya sudah kena, maka umat pun akan mudah diarahkan ke jalan tidak benar. Gampang kan?

Apalagi dengan adanya sebuah jaringan yang teroraganisasi dengan baik untuk menghancurkan Islam dari dalam, yakni JIL alias Jaringan Islam Liberal. Islam kok liberal? Hehe makanya nggak pantas banget kata Islam disandang dan bersanding dengan liberal. Terus, apa hubungannya dengan perayaan natal dan tahun baru?

Merekalah yang gencar mempromosikan ajakan untuk merayakan dan mengucapkan natal dan tahun baru. Alasannya sih slogan pluralisme agama yang sering jadi dalih. Merekalah yang suka memberi cap eksklusif pada kita-kita yang berusaha berjuang dan menerapkan Islam secara kaffah (keseluruhan). Lucu ya.

Musuh-musuh Islam nggak perlu repot-repot untuk menghancurkan Islam karena sudah ada mesin penghancur itu dari dalam. Pihak JIL inilah yang paling getol mengadakan diskusi dan seminar dalam merusak ide dan akidah Islam. Lha wong teman-teman saya yang nasrani aja nggak repot kok meski saya dan teman-teman yang lain nggak mengucapkan selamat natal pada mereka. Dan kami juga tetap berteman sebatas hal-hal yang memang dibolehkan. Bukan mencampuradukkan akidah dan keimanan. Kok, malah pihak yang mengaku dirinya muslim yang ajak-ajak untuk ikut natalan. Aneh!

Makanya, kamu jangan heran lagi kalo ada ulama yang ikut natalan bahkan ajak-ajak umatnya untuk mengikuti perbuatannya. Ingat, setiap individu akan bertanggung jawab terhadap amal perbuatan masing-masing. Nggak ada ceritanya entar di akhirat ketika dihisab dan ditanya kamu akan bikin alasan “Saya kan cuma ikut-ikutan ulama anu.” Ulama anu itu bisa jadi ikut bikin alasan “Salah sendiri, ngapain kamu mau ikut-ikutan saya?” Nah lho, jadi ribet kan urusannya?

Nah lho, masing-masing saling menyalahkan. Kalo kamu paham Islam dengan baik dan benar, kondisi itu nggak akan terjadi. Meskipun ulama, kalo perbuatannya gak benar ya seharusnya dinasehati bukan diamini aja. Bukankah itu sejatinya sikap seorang Muslim? Saling menasihati dalam kebenaran dan dalam kebaikan.

Kalo ternyata si ulama tetap ngeyel? Kita ingkari aja perbuatannya dalam hati sambil terus melakukan upaya penyadaran terhadap teman-teman dan keluarga kita, supaya mereka nggak ikut-ikutan perbuatan yang nggak bener itu. Kalo kamu punya kemampuan menulis, bisa tuh bikin tulisan sederhana terus kamu tempel di mading sekolah. Atau bisa kamu kirimkan ke surat pembaca di surat kabar kotamu. Jangan cuma diam aja.

Termasuk nih, kalo kamu pandai berbicara di depan banyak orang, jelaskan kepada mereka persoalan ini. Nggak perlu takut dicerca. Oke?

Kalo musuh Islam gencar menyerang dengan dalih toleransi dan pluralisme, maka kita harus lebih giat dan semangat untuk menyadarkan umat akan bahaya ide ini. Kalo mereka punya backing dana banyak, media massa yang jadi corong ide rusak, pejabat korup, ulama syu’ (jahat), kita punya satu hal. Meski satu tapi dahsyat. Apakah itu? Kekuatan Iman. Backing-nya langsung bersandar pada Yang Maha Dahsyat. Pemilik langit dan bumi. Kalo Ia sudah menjadi sumber kekuatan kita, siapa yang bisa mengalahkan?

Tuh kan, keren banget! Allah sebagai backing kita. Allah sebagai sumber kekuatan kita. Hanya satu pertanyaan untuk kamu dan kita semua, maukah kita menjadi pejuang di jalanNya? Itu saja! Semoga kita semua siap. Setuju kan?

sumber : klik


REPUBLIKA.CO.ID,MINA–Usianya baru 25 tahun. Dia belum menikah dan lulusan sekolah manajemen di Selatan Prancis. Sejak lahir, seperti orang tuanya, dia seorang Kristiani. Namun berbagai pertanyaan yang menyesaki otaknya tentang agama lamanya itu justru membawanya mengenal Islam.

Pria yang enggan mengungkapkan nama lamanya ini, setelah menjadi mualaf berganti nama menjadi Abdul Aziz. Dia tampak enggan terlalu dalam mengungkap jati dirinya dengan alasan negaranya tidak terlalu toleran menyikapi perbedaan budaya dan agama, sebuah ironis bagi negara di Eropa dengan komunitas Muslim yang besar.

Aziz mengungkapkan awal perjumpaannya dengan Islam. Sejak lama dia rupanya sudah mempertanyakan ajaran Kristen yang dinilai banyak menyimpan pertentangan. ”Sejak remaja saya kerap berpikir apa yang terjadi setelah kematian,” ujarnya kepada Arab News. ”Jadi saya banyak mempelajari hal itu dan saya tidaka menemukan jawabannya dalam agama saya yang dulu.”

Karena tak merasa puas, Aziz lantas menanyakan hal itu kepada teman-temannya yang berlatar belakang budaya dan agama beragam. ”Saya berdiskusi dengan teman yang beragama Yahudi dan juga teman-teman Muslim. Kami membahas masalah agama. Tapi jelas ada banyak perspektif sehingga saya memutuskan untuk mempelajarinya sendiri,” tuturnya.

Aziz lantas banyak belajar dari buku-buku dan internet hingga akhirnya menemukan jawaban yang paling sesuai dalam Islam. ”Dalam Islam tak ada kontradiksi, semuanya logis,” ujarnya. ”Dalam Kristen, saya menemukan beberapa hal yang kontradiksi.”

Akhirnya setelah melakukan pencarian sekian lama, Aziz memutuskan untuk menjadi mualaf di usia 17 tahun. Dia memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dihadapan teman-temannya. Sementara keluarganya, meskipun tidak terlalu mempertanyakan keputusannya ini, sedikit banyak ingin saling bertukar pikiran mengenai keputusan besar yang diambilnya itu.

”Mereka (keluarga) mengajukan beberapa pertanyaan karena mereka khawatir mengenai gerakan fundamen …