Arsip untuk Juli, 2015


Mojok.co ~ Insiden Tolikara mengajarkan kita banyak hal untuk dipikirkan: bagaimana merespons hal-hal yang belum jelas kebenarannya, bagaimana bersikap terhadap berita-berita provokatif.

image

Di abad media sosial ini, tautan berita atau tulisan yang diberikan seseorang bisa menjadi tolok ukur kecerdasan orang itu. Misalnya, jika sekali waktu seseorang memberikan tautan status facebook Jonru atau berita dari PKS piyungan, maka alhamdulillah, kita bisa tahu kualitas kecerdasan orang itu. Tentu saja dengan sedikit perkecualian.

Jika orang itu bukan saudara bukan teman, cukup di-unfriend saja, jika ia kakak kandung anda yang kebetulan juga seorang fundamentalis garis keras, cukup di-mute atau di-unfollow. Anda tidak harus menanggapi tautan itu. Dengan mendiamkan anda bisa jadi lebih bahagia. Hubungan keluarga tidak rusak, akal sehat terjaga, dan yang paling penting anda tidak terpapar polusi kedunguan.

Namun pasti suatu saat, akan tiba masa di mana anda mesti berjihad melawan kedunguan. Saat-saat di mana kebodohan sudah paripurna, dan mendiamkan bukanlah pilihan. Yaitu ketika orang-orang yang anda sayang, orang-orang yang anda cintai, atau bahkan mantan orang-orang pernah anda kasihi, menjadi korban berita dusta. Itu adalah saat yang paling tepat bagi anda untuk balen bersuara. Bertindak untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

Berikut ada beberapa cara agar Anda bisa menyelamatkan orang-orang yang anda kasihi. Mengajak mereka untuk tidak jadi tolol di Internet. Agar tidak menyebarkan berita provokatif yang belum terverifikasi kebenarannya, supaya tidak ikut menyebarkan status-status kebencian yang tidak bisa dibuktikan fakta-faktanya.

Dengan memberikan panduan ini, setidaknya, anda menyelamatkan satu manusia dari barisan kebodohan.

1. Verifikasi
M. Said Budairy, ombusman legendaris majalah Pantau itu, pernah berkata: verifikasi merupakan syarat kerja wartawan profesional. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dalam buku mereka yang berjudul 9 Elemen Jurnalisme, berkata bahwa esensi dari jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.

Tanpa verifikasi, kerja media yang secara objektif berkejaran dengan waktu akan serampangan. Kelengkapan, otentitas, akurasi informasi dipertaruhkan.

Jika ada media, atau pesohor Facebook, yang berulang kali menuliskan berita bohong, kabar dusta, pantaskah ia dipercaya? Oh, kita bisa saja berkata bahwa blog piyungan itu bukan media jurnalistik, atau pesohor Facebook itu bukan jurnalis. Nah, kalau sudah begini, kita kembalikan saja, jika mereka bukan siapa-siapa kenapa kita mesti percaya? Dan mengapa anda membagi tautan berita/status orang itu?

Sebuah media yang kerap menulis berita bohong tidak pantas dipercaya. Seseorang yang kerap menyebarkan berita dusta, lantas menghapusnya tanpa pemberitahuan dan permintaan maaf, selayaknya tidak lagi diberikan kesempatan bicara.

Lantas bagaimana jika ia tetap saja bicara? Ya tidak perlu didengarkan lagi.

2. Reputasi dan Integritas
M. Said Budairy juga berkata, landasan moral profesi mengharuskan wartawan menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar. Bukan untuk menebak-nebak mana yang benar mana yang salah. Verifikasi berfungsi sebagai filter, ia akan menghilangkan bias opini dari fakta, juga menyelamatkan seseorang dari penyebaran kebohongan.

Jika verifikasi ini bisa dilakukan, niscaya Anda bisa balikan menjadi seseorang yang berpendapat tanpa takut apa yang anda katakan berasal dari kebohongan.

Disiplin melakukan verifikasi (jika anda tidak suka kata ini bisa diganti tabayun) bisa membuat penulis menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan tulisan yang baik dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.

Dan pada akhirnya, media atau individu yang biasa berpendapat dengan disiplin verifikasi yang ketat akan memiliki reputasi yang baik dan integritas yang dapat dipercaya.

Jika anda masih ngotot membagikan tulisan dari situs yang berulang kali menyebarkan berita bohong, atau seseorang yang kerap berdusta, anda barangkali butuh psikolog untuk menguji kualitas kewarasan.

3. Proporsional dan Komprehensif
Andreas Harsono, jurnalis dan aktivis hak asasi manusia, mengatakan dalam resensi 9 elemen Jurnalisme, suratkabar (dalam hal ini portal berita online) seringkali menyajikan berita yang tak proporsional, dengan judul bombastis dan sensional yang kadang tidak sesuai dengan konten berita. Penekanannya pada aspek yang emosional. Sehingga bisa saja seseorang menulis judul yang aneh untuk mengejar klik dan hit dari pemberitaan yang ia tulis.

Lantas bagaimana memahami kualitas berita proporsional dan komprehensif? Pertama, lihat bagaimana media itu bekerja, apakah mereka kerap menuliskan judul berita yang berbeda dengan isi berita? Apakah berita itu kerap menggunakan kata-kata seperti ASTAGA?  BUJUBUNENG? EBUSYET? SEGAN? Atau yang lebih agamis seperti Astagfirullah, Subhanallah dan sejenisnya. Judul yang demikian menggiring opini pembaca bahkan sebelum beritanya kelar dipahami. Dari pengalaman yang sudah-sudah, media yang menggunakan judul seperti ini bahkan tidak becus dalam masalah ejaan, apalagi masalah verifikasi.

Nah, itulah beberapa cara agar kita tidak jadi tolol di Internet. Susah memang, lebih mudah menyebarkan berita tanpa verifikasi, atau berkelit “Ah, saya cuma berbagi,” ketika ketahuan beritanya bohong.

Tapi saya yakin Anda, seperti sedikit orang waras di dunia, tidak ingin jadi keledai yang membuat kebodohan berulang-ulang. Cukuplah itu dipanggul oleh orang-orang yang merasa cukup masuk sorga dengan menyebarkan berita bohong.


Mojok.co ~ Sebuah masjid di Papua terbakar di hari Idul Fitri. Versi ceritanya lebih dari satu. Ada yang bilang, masjid itu dibakar oleh sebuah jemaat Kristen yang intoleran. Yang lain bilang, api berasal dari pasar, lalu merembet ke masjid. Wapres bilang, ini gara-gara speaker. Ada juga yang bilang, ini gara-gara tentara. Yang jelas kasus ini butuh diselidiki lebih lanjut.

image

Kita boleh waspada tapi jangan gegabah. Apalagi kita tidak sedang di Tolikara, daerah terpencil yang sulit ditempuh dari kota-kota utama.

Lalu seorang Hafidz Ary berkicau di linimasa: “Jika muslim di jakarta atau jawa minoritas, pembakaran masjid ya terjadi juga di sini,” dan “Umat Islam sudah begitu tolerannya, Indonesia jd negara dg gereja terbanyak di dunia, yg didapat? masjid dibakar.”

Sisanya adalah cuitan-cuitan lain yang kepingin membimbing umat ke “jalan surgawi”, “jalan syuhada.”

Pernyataan-pernyataan Akhi Hafidz jelas kacau. Di Jawa, Muslim bolehlah mayoritas. Di Timur belum tentu—dan tentu itu bukan alasan untuk merusak masjid.

Jika benar masjid itu sengaja dibakar, pastilah para perusak masjid itu memiliki alur berpikir yang sama dengan antum: “Kami di Timur sudah kasih toleransi yang besar terhadap Muslim, tapi …. bla bla bla bla”

Dua cara pandang ini adalah dua sisi dari koin yang sama. Sama-sama bermasalah. Sama-sama memperkeruh suasana.

Begini ya, Dik Hafidz. Rajin-rajinlahlah bergaul dan jalan-jalan. Antum akan temukan bahwa Muslim minoritas yang antum bela itu sebelas-duabelas nasibnya dengan Ahmadiyyah yang penutupan masjid-masjidnya antum dukung. Antum juga akan berjumpa dengan Hafidz Ary versi Kristen, Hafidz Ary versi Hindu, versi Buddha, versi Yahudi, dan buanyak lagi.

Antum tahu Ashin Wirathu kan, biksu Myanmar yang meneror Muslim Rohingya itu? Nah, andaikata antum pindah ke agama Buddha dan transmigrasi ke Myanmar, mungkin antum bakal gabung sama beliau.

Makanya antum nggak usah GR, deh. Spesies kayak antum itu nggak unik. Ada di hampir semua agama. Sama-sama nyebahi, sama-sama belum lurus kencingnya.

Daripada ngompor-ngomporin orang sambil mensyen-mensyen Pak Lukman Saifuddin, dan nyuruh beliau action, Dik Hafidz baiknya refleksi diri: yang terjadi pada masjid di Papua itu persis seperti yang menimpa banyak tempat ibadah lain di Jawa, entah itu gereja atau masjid orang Islam yang beda aliran, dari Ahmadiyyah sampai Syiah.

“Lho tapi kan mereka melecehkan agama Islam, agama mayoritas!” gugat antum.

Akhi Hafidz ini gimana sih. Antum kira yang yang dilecehkan cuma Islam? Terus, selama ini antum ngapain kalau nggak melecehkan agama orang? Memangnya cuma agama yang bisa dilecehkan? Coba main-main ke Kendeng, lihat bagaimana aparat melecehkan ibu-ibu yang memprotes perampasan tanah.

Lagian juga, apa Dik Hafidz ini tiap hari nggak melecehkan pekerjaan mertua, yang di Lebanon jadi pelayan Jokowi–presiden yang antum bilang thaghut itu?

Ya ane nggak suka-suka banget sih sama Jokowi, juga nggak benci-benci amat. Biasa aja. Tapi minimal ane kan nggak punya mertua pejabat, jendral, apalagi dubes di Lebanon. Boro-boro punya mertua, laku aja kagak.

Oh iya, Dik Hafidz pernah angkat senjata di daerah konflik? Di Ambon, orang-orang yang lelah berperang malah sibuk meretas jalan damai. Mending antum samperin orang-orang MUI cabang Ambon yang turut merajut rekonsiliasi. Mereka paham, dari pihak Muslim maupun Kristen, ribuan nyawa terbuang sia-sia, anak-anak tidak bisa sekolah, para pemuda menganggur. Mereka paham bahwa kedua kubu dipanas-panasi, dipasok duit dan senjata oleh orang-orang kaya di Jakarta.

Nah, antum kira perang itu cuma soal kehormatan. Antum pikir perang cuma urusan melindungi “Muslim yang tertindas”? Hih.

Memang gampang membelokkan isu politik di Papua menjadi isu agama. Begitu muncul kabar masjid terbakar, antum langsung ngetwit, “Teroris kristen harus ditindak tegas , apalagi jika ada kaitan dg separatisme. “…harus diwaspadai, ulah gereja di Papua dalam agenda separatisme. Muslim harus jaga NKRI, kalo bukan kita siapa lagi?”

Dik Hafidz, gerakan kemerdekaan Papua tidak ada hubungannya dengan agama. Orang di sana menuntut merdeka karena berpuluh-puluh tahun tanahnya dirampas korporasi-korporasi bajingan dan ditindas tentara—iya, tentara yang dulu juga membantai muslim di Tanjung Priok dan Talangsari.

Makanya, jika ada yang “mengkristenkan” orang-orang berjiwa merdeka itu, ya mungkin cuma Dik Hafidz Ary seorang. Apa, antum bilang musibah hujan salju di Lanny Jaya itu gara-gara nggak  ada masjid di sana?

Dik Hafidz, tanyalah kenapa aparat keamanan terus bertambah, dan orang-orang Papua—mau Eslam atau Kresten—tetap saja terbunuh sia-sia. Coba telisik kenapa militer ngotot kodam-kodam baru didirikan di sana, sementara orang Papua makin habis diberantas. Jarang ada yang angkat bicara di isu ini, lho. Dari orang-orang beriman yang rindu surga macam Dik Hafidz sampe yang cinta duniawi, rata-rata adem-ayem aja tuh.

Pernah dengar kasus tentara tembak mati beberapa remaja di Paniai? Apa? nggak pernah?

Di Medsos itu, Dik Hafidz, banyak informasi bertebaran. Sebagian besar noise. Tapi tidak sedikit juga yang betul-betul berguna, meskipun tertutupi oleh noise seperti cuitan-cuitan antum. Apa Dik Hafidz mau, disangka teroris gara-gara twit-twit nggak mutu? Saya sih berharap tidak, karena saya pun paling anti mencap orang lain teroris. Plus, Dik Hafidz ini kan konon lulusan cemerlang ITB. Sebagai lulusan ITB dan kebanggaan mertua,  carilah pekerjaan yang benar, Akhi.

Mosok alumni ITB cuma jago ngetwit nggak mutu. Kalo ditanya sumber faktanya dari mana, trus Antum akan jawab dari capture-capture berita Arrahmah, VOA-Islam,  PKSpiyungan, Nahimunkar, Pribuminews, gitu?

Dik Hafidz, seandainya ane dulu dosen antum, jawaban-jawaban seperti itu bukan hanya bisa bikin antum dapat nilai F. Ane bahkan akan merekomendasikan supaya antum diospek lagi.

Dik Hafidz, tingkah lakumu yang pecicilan itu, alih-alih membantu minoritas muslim Papua, justru hanya membangun kesan bahwa antum itu telat bandel dan masa remaja antum tidak bahagia. Sejauh ini antum cuma mengesankan diri sekadar sebagai remaja alay yang baru bisa naik motor dan pengen kebut-kebutan biar dibilang jantan.

Mungkin Dik Hafidz perlu gabung klub bela diri. Selain bisa menyalurkan masa puber yang belum tuntas, antum juga bisa jauh lebih sehat jasmani rohani.

Ya sudah, Dik Hafidz. Nggak usah mewek gitu lah. Saya mau bobo dulu. Antum juga istirahat ya. Rehatlah sejenak dari twitter. Besok mertua antum menghadap presiden. Halal Bi Halal. Temani beliau. Jangan lupa pakai batik lagi, dan senyumlah selebar ketika mertua antum ketiban rejeki.