Arsip untuk Desember 6, 2012


Adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dielakkan bahwa sejak lama masyarakat Indonesia hidup dengan kultur dan agama yang majemuk, tidak terkecuali saat Islam datang ke negeri ini. Saat itu, agama Hindu-Budha sudah ada lebih dahulu.  Dalam proses Islamisasi, sebagian ada yang langsung tertarik untuk memeluk Islam tanpa paksaan, namun sebagian lain masih memegang kepercayaan lama sehingga persentuhan kaum Muslim dengan orang-orang non-Muslim tidak bisa dihindarkan.

Dalam hal ini, ada prinsip-prinsip pokok dipegang secara eksklusif dan tidak bisa ditawar-tawar, yaitu dalam hal akidah dan ibadah. Sementara dalam hal-hal lain, yang tidak berpotensi merusak akidah, ibadah, serta ajaran pokok Islam lainnya,  umat Islam bisa menjalin kerja sama dengan siapa saja yang berbeda agama atau budaya.

Contoh menarik bagaimana prinsip-prinsip di atas dijalankan secara sangat baik dapat kita lihat dalam sejarah Walisongo, para pendakwah Islam paling masyhur dan paling berhasil di Tanah Jawa. Para wali ini hidup di akhir zaman Majapahit. Sekalipun sudah banyak yang menganut Islam, namun masih banyak keluarga keraton dan rakyat biasa yang masih belum Muslim. Oleh sebab itu, muamalah dengan non-Muslim tidak bisa dihindarkan.

Salah satu kasus yang penting dicatat adalah saat Walisongo membangun masjid pertama di Demak yang kemudian dikenal sampai hari ini sebagai Masjid Demak. Para arkeolog menyimpulkan bahwa corak Masjid Demak ini masih sangat kental diwarnai gaya arsitektur zaman Hindu. Salah satu cirinya adalah atapnya yang berundak 2,3,5, denahnya persegi empat dengan serambi di samping. Model seperti ini mirip dengan seni bangun candi pada masa itu, sekalipun detailnya tetap memperhatikan falsafah Islam dan fungsi mesjid itu sendiri bagi umat Islam. Hanya corak dan gayanya yang dipengaruhi Hindu.

Lebih menarik lagi apabila kita telusuri arsitek dan tukang yang membangun masjid ini. Sebagai inisiator dan konseptor masjidnya adalah para Wali. Akan tetapi, implementasi arsitektur dan pengerjaannya dilakukan oleh tukang-tukang dari Majapahit. Dalam Babad Cirebon dikisahkan bahwa serambinya sendiri berasal dari Kota Majapahit. Kepala tukang (arsitek) yang membangun Masjid Demak ini pula yang dipercaya oleh Sunan Gunung Djati untuk merancang dan membangun kota di Cirebon saat ia mendirikan Kerajaan Cirebon beberapa tahun setelah berdiri Kerajaan Demak. Dalam Babad Cirebon arsitek itu adalah Raden Sepat, seorang arsitek asal Majapahit yang masih belum Muslim. (Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jil. III, Balai Pustaka Jakarta 1991, hal. 284-286).

Membangun masjid adalah perkara sakral. Namun, dalam prosesnya ada yang mutlak harus tunduk pada aturan Islam seperti arah kiblat dan fungsi mesjid sebagai tempat ibadah (terutama shalat berjamaah). Sisanya ada perkara yang tidak ada kaitan dengan masalah akidah dan ibadah seperti gaya, bahan-bahan bangunan, proses pengerjaan, dan sebagainya. Diduga, Raden Sepat adalah arsitek terbaik pada zamannya. Para Wali ingin mempersembahkan yang terbaik saat membangun mesjid yang akan digunakan sebagai pusat kegiatan umat Islam. Oleh sebab itu, untuk perkara-perkara teknis yang tidak terkait mengganggu akidah umat Islam, mereka tidak segan-segan bekerja sama dengan Raden Sepat, sekalipun bukan Muslim.

Perhargaan terhadap kebudayaan lokal — yang ditunjukkan dengan memilih gaya lokal dalam membangun mesjid —  diduga sebagai upaya dakwah kepada masyarakat di Jawa saat itu agar mereka bisa memahami bahwa Islam bukan hendak menghilangkan budaya Jawa, melainkan ingin menyempurnakannya dengan ajaran Islam yang luhur. Padahal, bila dilihat dari sisi kultural yang lain, para Wali ini sebagian besar masih berketurunan Arab. Hanya Sunan Kalijaga yang dikenal asli berdarah Jawa. Akan tetapi, ketika memilih unsur kebudayaan untuk berdakwah, yang dipilih adalah yang paling dikenal oleh masyarakatnya, yaitu kebudayaan Jawa, bukan Arab.

Bila dalam masalah yang tidak terkait langsung dengan akidah para Wali ini bisa amat toleran, lain halnya bila sudah menyangkut masalah akidah. Ini dapat kita lihat pada kasus Syekh Siti Jenar (Syekh Lemah Abang) yang dihukum mati oleh Kerajaan Demak atas rekomendasi dari para wali. Belakangan ini ada yang mencoba membalikkan fakta bahwa Syekh Siti Jenar dihukum karena alasan politik bahwa Syekh Siti Jenar tidak mendukung penguasa Demak. Padahal, dalam berbagai cerita yang dimuat dalam berbagai babad, proses pelaksanaan hukuman setelah benar-benar secara faktual Syekh Siti Jenar melakukan penyimpangan agama.

Paling tidak dalam dua sumber babad, yaitu Babad Tanah Jawi dan Babad Walisana eksekusi mati yang dilakukan terhadap Syekh Siti Jenar setelah terbukti secara meyakinkan bahwa Syekh Siti Jenar melakukan hal-hal berikut. Pertama, Syekh siti Jenar telah meninggalkan Al-Quran, hadis, ijma’, dan qiyâ. Kedua, Syekh Siti Jenar telah terkategori zindiq dan mulhid (panteis dan ateis) karena mengaku bahwa ora ana Pangeran anging Angsun (tidak ada Tuhan kecuali Aku). Ketiga, Syekh Siti Jenar sering menakwilkan Al-Quran tanpa kaidah yang benar sehingga banyak yang takwilnya yang ngawur. Keempat, ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar sangat membahayakan karena sangat pesimistis melihat dunia juga mendukung tindakan anarki dan chaos, dan kelima, perilaku-perilaku muridnya pun sangat meresahkan masyarakat.

Para Wali tidak menjatuhkan keputusan sepihak. Sebelumnya telah dilakukan berkali-kali diskusi. Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus yang ditugaskan untuk mengajak kembali Syekh Siti jenar ke jalan yang benar. Namun, hasilnya tetap nihil. Akhirnya suatu musyawarah Walisongo diadakan di bawah pimpinan Sunan Giri sebagai tetua Walisongo. Dalam musyawarah yang mirip dengan persidangan itu, Syekh Siti Jenar tetap pada pendiriannya hingga ia akhirnya diputuskan telah menyimpang dan layak untuk dijatuhi hukuman karena bila dibiarkan malah akan merusak akidah umat Islam. Dalam hal ini berlaku prinsip kaidah fiqih sad adz-dzarî’ah (mencegah bahaya yang lebih besar).

Setelah Walisongo mendirikan Kerajaan (Islam) Demak, Syekh Siti Jenar dipanggil kembali untuk diperiksa ulang mengenai pendapat dan praktik keagamaannya. Karena tidak ada perubahan, maka diputuskan oleh kerajaan bahwa Syekh Siti Jenar harus dijatuhi hukuman mati bersama dengan tujuh orang muridnya.  (Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, 1995:46-66).

Demikianlah contoh “toleransi”  Walisongo! Wallâhu A’lam bil-shawab klik


Gerlombang liberalisme di Indonesia masuk berbagai pintu. Salah satu pintu yang boleh dikatakan sukses adalah pintu isu kesetaraan gender. Isu ini bahkan telah berhasil menembus kebijakan negara. Alhasil, gender mainstreaming menjadi salah satu program penting dalam semua lini program yang dicanangkan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga meratifikasi MDGs (Milenium Development Goals) yang salah satu indikatornya adalah pengarus-utamaan gender. Targetnya sangat telanjang: menyamakan peran laki-laki dan perempuan. Artikel ini tidak akan membicangkan masalah ini. Yang akan menjadi fokus adalah asal-muasal dari mana gerakan ini muncul di negeri ini? Apakah tepat konteks sosial Indonesia?

Gerakan perempuan di Indonesia mulai menyeruak ke permukaan setelah terbit buku kompilasi surat-menyurat Kartini dengan teman-teman Belandanya (Ny. Abendanon, Stella, Ny. Ovink-Soer, dll) bertajuk Door Duisternis Tot Licht (1911). Buku ini menjadi populer ketika Armin Pane, pujangga angkatan Balai Pustaka, menerjemahkannya dan memberinya judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini dianggap memberi inspirasi bagi kaum wanita di Indonesia untuk memperjuangkan harkat dan martabatnya agar sejajar dengan laki-laki. Alhasil kata “emansipasi wanita” menjadi kata-kata yang sangat familiar di negeri ini; dan Kartini pun didaulat sebagai salah seorang pahlawan wanita kebangga bangsa ini.

Dalam surat-suratnya, Kartini bercerita tentang kegetiran dan nestapa yang dialaminya sebagai anak-wanita seorang priyayi Jawa (Bupati). Ia selalu ditempatkan sebagai makhluk kelas dua setelah saudara laki-lakinya. Perannya dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki. Ayahnya menikah secara poligami yang membuatnya sangat tidak senang, sekalipun akhirnya ia harus menerima kenyataan menjadi istri keempat Bupati Rembang.

Atas pengalaman yang dialaminya itu, Kartini sampai pada kesimpulan bahwa wanita Indonesia harus bergerak dan bangkit melawan penindasan ini. Untuk bangkit itu, “Kartini bercita-cita memberi bekal pendidikan kepada anak-anak perempuan, terutama budi pekerti, agar mereka menjadi ibu yang berbudi luhur, yang dapat berdiri sendiri mencari nafkah sehingga mereka tidak perlu kawin kalau mereka tidak mau.” (Sulastin Sutrisno, Surat-Surat Kartini, Djambatan, 1985: xvii).

Sampai pada titik ini, pemikiran-pemikiran feminis Kartini terlihat terang-benderang, walaupun akhirnya ia memilih untuk meninggalkan pemikiran-pemikirannya ini. Kartini rupanya lebih senang menjadi wanita Jawa apa adanya. Ia memilih untuk menikah, punya anak, dan tidak bekerja mencari nafkah sendiri seperti yang ia angankan sebelumnya. Bahkan pernikahan poligami yang sebelumnya sangat dimusuhi dan dianggapnya sangat “diskriminatif” terhadap wanita, akhirnya ia jalani. Keputusannya ini sangat disayangkan oleh teman-teman Balandanya, terutama Stella. Stella kecewa atas perubahan pikiran dalam diri Kartini. Sebagai seorang penganut feminisme yang sudah mendarah-daging, Stella betul-betul tidak dapat mengerti keputusan Kartini.

Kartini sendiri tidak terlihat sama sekali merasa tertindas atas pernikahan poligaminya itu. Bahkan beberapa saat setelah pernikahannya Kartini menulis surat kepada J.H. Abendanon dan istrinya yang menunjukkan bahwa pernikahannya, sekalipun pernikahan keempat bagi suaminya, sama sekali baik-baik saja.
“Kawan-kawan yang baik dan budiman. Saya tahu betul-betul, bagaimana surat ini diharap-harapkan, surat saya yang pertama dari rumah saya yang baru. Alhamdulillah, di rumah itu dalam segala hal keadaan saya baik dan menyenangkan; di situ yang seorang dengan dan karena yang lain bahagia…” (Surat-Surat Kartini, hal. 348).
***

Mencermati perjalanan hidup Kartini seperti itu, patut dipertanyakan dari mana Kartini punya pikiran feminis pada awal-awal suratnya? Padahal, sejatinya Kartini adalah wanita Jawa yang ternyata lebih menghayati kehidupan budayanya. Kesenangannya justru lahir dalam harmoni mengikuti ritme budaya tempat sekian lama ia hidup dan sudah mendarah daging sejak lahir. Ia tidak pernah senang menjadi wanita pemberontak seperti yang diajarkan para feminis.

Pertanyaan ini tidak akan pernah terjawab kalau kita tidak mencermati di mana Kartini bersekolah dan dengan siapa ia berkirim surat. Kartini bersekolah di sekolah Belanda karena ia seorang anak bupati yang bisa menikmati sekolah bersama dengan anak-anak Belanda. Menjelang abad ke-20 saat Kartini bersekolah adalah saat ide-ide politik etis yang dipengaruhi kelompok liberal di Belanda tengah menjadi arus wacana utama di Hindia Belanda (baca: Indonesia).

Selain karena arus wacana politik etis, karena bersekolah di sekolah Belanda sudah tentu Kartini akan menyerap berbagai paham yang tengah berkembang di Barat. Salah satu yang tidak bisa dihindari adalah liberalisme. Pandangannya tentang kedudukan laki-laki dan perempuan pun hampir bisa dipastikan banyak terpengaruh pandangan-pandangan liberal yang diajarkan guru-guru belandanya di sekolah. Dari sekolah Belanda ini pula Kartini bertemu dengan buku-buku dan surat kabar yang berhaluan liberal.

Pengaruh feminis yang paling meyakinkan dalam surat-suratnya adalah teman-teman korespondensinya sendiri. Stella Zeehandelar adalah salah seorang yang paling feminis dibanding teman-temannya yang lain. Usianya lebih tua 5 tahun dari Kartini, anak dari orang tua Yahudi-Belanda. Ia penganut sosialis yang sangat kuat dan aktivis feminis sejak masih di Belanda sampai bekerja di Indonesia. Kartini berkenalan dengan Stella pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollandse Leile, majalah wanita yang saat itu sangat populer. Teman-temannya yang lain pun rata-rata berpaham liberal seperti pada umumnya orang-orang yangd atang dari Belanda pada abad ke-19 dan 20.

Paham feminis yang muncul dalam surat-surat Kartini hampir bisa dipastikan berasal dari dua sumber di atas: sekolah Belanda dan teman-teman Belandanya. Beruntung bahwa Kartini sesungguhnya tidak benar-benar menjadi feminis yang ekstrim: memusuhi laki-laki. Feminisme bagi Kartini hanya sebatas wacana yang bergolak dalam pikirannya. Selebihnya ia sampaikan itu dalam surat-suratnya. Kartini sendiri tidak pernah berniat sama sekali mempublikasikan pikiran-pikirannya itu, bahkan sampai ia meninggal tahun 1904 dalam usia 25 tahun beberapa hari setelah melahirkan anak pertamanya.

Justru yang mempromosikan pemikiran-pemikiran feminis ini adalah Mr. J.H. Abendanon, Menteri Agama, Pengajaran, dan Kerajinan Hindia Belanda. Ia mengumpulkan semua surat-surat Kartini, menyusunnya, kemudian menerbitkannya tujuh tahun setelah Kartini wafat. Abendanon sendiri, secara politis, adalah penganut aliran etis (baca: liberal) di Belanda. Sangat wajar kalau ia kemudian mempromosikan ide-ide liberal seperti yang tercermin dalam surat-surat Kartini. Secara tidak langsung Abendanon ingin mengajarkan feminisme-liberal kepada masyarakat Indonesia, namun meminjam tangan anak bangsa Indonesia sendiri, Kartini. Inilah sesungguhnya awal mula benih feminisme-liberal ditaburkan di bumi Indonesia yang sesungguhnya tidak menyimpan masalah besar dalam hubungan laki-laki perempuan, sejak Islam datang ke negeri ini. Wallâhu A’lam.

Writen by Tiar Anwar Bachtiar

Ide mendirikan negara Yahudi dalam perkembangan gerakan Zionis, sebenarnya banyak dipengaruhi oleh Theodore Herzl. Dalam tulisannya, Der Jadenstaat (Negara Yahudi), dia mendorong organisasi Yahudi dunia untuk meminta persetujuan Turki Usmani sebagai penguasa di Palestina agar diizinkan membeli tanah di sana. Kaum Yahudi hanya diizinkan memasuki Palestina untuk melaksanakan ibadah, bukan sebagai komunitas yang punya ambisi politik (lihat: Palestine and The Arab-Israeli Conflict, 2000: 95). Keputusan ini memicu gerakan Zionis radikal. Bersamaan dengan semakin melemahnya pengaruh Turki Usmani, para imigran Zionis berdatangan setelah berhasil membeli tanah di Palestina utara. Imigrasi besar-besaran ini pun berubah menjadi penjajahan tatkala mereka berhasil menguasai ekonomi, sosial dan politik di Palestina dengan dukungan Inggris (Israel, Land of Tradition and Conflict, 1993:27).

Berakhirnya Perang Dunia I, Inggris berhasil menguasai Palestina dengan mudah. Sherif Husein di Mekah yang dilobi untuk memberontak kekuasaan Turki juga meraih kesuksesan. (1948 and After: Israel and Palestine, 1990:149). Rakyat Palestina semakin terdesak dan menjadi sasaran pembantaian. (2000:173). Agresi Zionis terus berlanjut, 360 desa dan 14 kota yang didiami rakyat Palestina dihancurkan dan lebih 726.000 jiwa terpaksa mengungsi. Akhirnya pada Jumat, 14 Mei 1948, negara baru Israel dideklarasikan oleh Ben Gurion, bertepatan dengan 8 jam sebelum Inggris dijadwal meninggalkan Palestina. Untuk strategi mempertahankan keamanannya di masa berikutnya, Israel terus menempel AS hingga berhasil mendapat pinjaman 100 juta U$D untuk mengembangkan senjata nuklir.

Elisabeth Diana Dewi dalam karya ilmiahnya, The Creation of The State of Israel menguraikan bahwa secara filosofi, negara Israel dibentuk berdasarkan tiga keyakinan yang tidak boleh dipertanyakan: (a) tanah Israel hanya diberikan untuk bangsa pilihan Tuhan sebagai bagian dari Janji-Nya kepada mereka. (b) pembentukan negara Israel modern adalah proses terbesar dari penyelamatan tanah bangsa Yahudi. (c) pembentukan negara bagi mereka adalah solusi atas sejarah penderitaan Yahudi yang berjuang dalam kondisi tercerai berai (diaspora). Maka, merebut kembali seluruh tanah yang dijanjikan dalam Bibel adalah setara dengan penderitaan mereka selama 3000 tahun. Oleh sebab itu, semua bangsa non-Yahudi yang hidup di tanah itu adalah perampas dan layak untuk dibinasakan.

Yahudi dalam Al-Quran

Fakta fenomenal saat ini yang menggambarkan arogansi, kecongkakan dan penindasan Yahudi terhadap kaum muslimin adalah hikmah yang harus diambil dari Firman-Nya: Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: “Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.” (QS.17:4). Dalam tafsir Jalalayn dijelaskan bahwa maksud fil ardhi dalam ayat itu adalah bumi Syam yang meliputi Suriah, Palestina, Libanon, Yordan dan sekitarnya.

Pembunuhan bukan hal asing dalam sejarah Yahudi. Bahkan nabi-nabi mereka, seperti Nabi Zakariya dan Nabi Yahya pun dibunuh. Mereka juga mengira telah berhasil membunuh Nabi Isa dan bangga atas usahanya. Tapi Al-Quran membantahnya (QS.4:157). Inilah di antara makna bahwa yang paling keras permusuhannya terhadap kaum beriman ialah orang Yahudi dan musyrik (QS. 5:82).

Penolakan janji Allah (QS. 5:21-22) yang memastikan kemenangan jika mau berperang bersama Nabi Musa, membuktikan sebenarnya Yahudi adalah bangsa penakut, pesimis, tamak terhadap dunia dan lebih memilih hidup hina daripada mati mulia. Bahkan QS. 5:24 menggambarkan bahwa mereka tidak butuh tanah yang dijanjikan dan tidak ingin merdeka selama masih ada sekelompok orang kuat yang tinggal di sana. Lalu mereka meminta Nabi Musa dan Tuhannya berperang sendiri.

Oleh karena itu Al-Quran menggambarkan bahwa kerasnya batu tidak bisa mengimbangi kerasnya hati kaum Yahudi. Sebab masih ada batu yang terbelah lalu keluar mata air darinya dan ada juga yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah (QS. 2:74). Keras hati kaum Yahudi ini di antaranya disebabkan hobi mereka mendengarkan berita dusta dan makan dari usaha yang diharamkan (QS. 5:24).

Dua Belas Kejahatan Yahudi

Dalam buku Qabaih al-Yahud dijelas 12 kejahatan Yahudi yang termaktub dalam Al-Quran. Kejahatan itu adalah sebagai berikut:

  1. Menuduh Nabi Musa punya penyakit kusta karena tidak mau mandi bersama mereka. (QS. 33:69)
  2. Enggan melaksanakan Taurat, sehingga Allah mengangkat gunung Tursina untuk mengambil perjanjian yang teguh. (QS.2:93)
  3. Tidak mau beriman kecuali jika melihat Allah langsung. (QS. 2:55 dan 4:153)
  4. Merubah perintah agar masuk negeri yang dijanjikan seraya bersujud dan mengucapkan hithah, yakni memohon ampunan. Tapi mereka mengganti perintah itu dengan cara melata di atas anusnya dan mengatakan hinthah, yakni sebutir biji di rambut. (QS. 2:58-59
  5. Menuduh Nabi Musa mengolok-olok mereka saat mereka disuruh menyembelih sapi betina. (QS. 2:67)
  6. Menulis Alkitab dengan tangan mereka, lalu mengatakan ini dari Allah. (QS. 2:79)
  7. Memutar-mutar lidahnya untuk menyakinkan bahwa yang dibacanya itu adalah wahyu yang asli. (QS. 3:78)
  8. Merubah Firman Allah. (QS.2:75)
  9. Menyembah patung sapi saat ditinggal Nabi Musa mengambil Taurat. (QS.2: 51 dan 92)
  10. Mengatakan Tangan Allah terbelenggu. (QS.5:64)
  11. Menuduh Allah itu faqir. (QS. 3:181)
  12. Menyuruh Nabi Musa dan Tuhannya berperang untuk mereka (QS.5:24)

Di samping itu, sosok nabi yang seharusnya dijadikan suri tauladan, justru dinistakan. Nabi Ibrahim dalam Kejadian pasal 12:10-16 dan 20:1-14, dikisahkan sebagai orang yang hina, menjijikkan dan rakus harta benda. Beliau dituduh menjual isterinya yang cantik demi meraih keuntungan. Kitab suci mereka tidak pernah menceritakan beliau sebagai Nabi pemberani yang menghancurkan patung meskipun harus dilemparkan kedalam api, menyeru ayah dan kaumnya meninggalkan kemusyrikan. Kisah memilukan juga menimpa Nabi Luth. Dalam Kejadian Pasal 19:30-38, beliau dikisahkan menzinahi kedua putrinya dalam keadaan mabuk.

Islam adalah musuh permanen bagi Yahudi dan Nasrani. Sebab Islam adalah satu-satunya agama yang kitab sucinya mengoreksi langsung kesalahan dua agama itu. Ibarat seorang adik, ia berani membongkar kejahatan kedua kakaknya. Oleh sebab itu, kedengkian mereka tidak akan padam dan masih eksis dalam kajian-kajian mereka. Contoh kedengkian intelektual ini seperti klaim bahwa Al-Quran banyak dipengaruhi kosa kata Ibrani, seperti diungkapkan Adnin Armas dalam bukunya Metodologi Bibel dalam Studi Al-Quran. Klaim ini dicetuskan oleh Abraham Geiger (1810-1874), seorang rabi dan pendiri Yahudi Liberal di Jerman dalam karyanya, Apa yang telah Muhammad pinjam dari Yahudi?

Jauh sebelumnya, Imam Syafi’i telah menolak tudingan semisal itu dan menguatkan bahwa Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab. Sebab semua lafadz dalam Al-Quran mustahil tidak dipahami oleh semua orang Arab, meskipun sebagian lafadz itu ada yang tidak dimengerti oleh sebagian orang Arab. Hal ini mengingat luasnya samudera bahasa Arab, bukan karena kata itu tidak berasal dari bahasa Arab. Karena kata-kata yang dituduhkan asing itu telah menjadi bahasa Arab, dikenal dan telah digunakan oleh masyarakat Arab sebelum turunnya Al-Quran.

Anehnya, virus Geiger kini berkembang subur di sebagian umat. Pengacauan studi Islam dan maraknya franchise-franchise hermeneutika untuk menafsirkan Al-Quran di sebagian institusi pendidikan tinggi Islam sangat potensial melemahkan akidah dan ukhuwah. Fenomena ini perlu dipertimbangkan para tokoh umat di samping fatwa tentang pemboikotan produk Israel dan Amerika

klik